“Akan tiba saatnya ketika Anda percaya semuanya sudah berakhir.Justru itulah permulaannya.”Louis L’Amour.
Ini bukan cerita tentang siapapun. Ini cerita tentang seorang gadis bernama Arisa yang mendapatkan kecelakaan sehingga mengakibatkan dia harus berbaring di rumah sakit hingga berbulan-bulan lamanya. Umurnya belum genap tujuh belas tahun dan ia mendapatkan sebuah kecelakaan parah yang hampir merenggut nyawanya. Ayahnya belum sempat menjenguknya dan hanya mengirimkan uang agar semua biaya-biaya mahal itu dapat dilunasi.
Di dalam keadaan tidak sadarnya, gadis itu menjelajahi setiap kehidupan yang telah ia lewati sebelum mendapatkan kecelakaan beruntun ini. Menyimpulkan setiap jalan yang ia ambil dan berpikir kembali atas perbuatan-perbuatannya.
Cerita ini dimulai ketika Arisa tertidur dengan lelapnya di atas kasur putih rumah sakit. Ia berjalan mundur untuk memutar waktu yang telah terbuang. Ia hanyalah gadis kecil yang dipaksa tumbuh dewasa demi mengerti arti hidup yang sebenarnya. Kedua adiknya, Izhar dan Tyaz, masih bersikap kekanakan yang membuatnya harus lebih bersabar menghadapi dua anak nakal itu. Sekarang Izhar duduk di kelas tiga di SMP 3 dan Tyaz masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 2.
Mereka bertiga dipaksa pindah dari Jakarta untuk tinggal bersama kakek-nenek dari ibu di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Arisa sungguh menyesal tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya setahun lagi untuk lulus dari bangku SMA tapi dia dipaksa pergi, memupuskan harapannya, cita-citanya. Sebelum kepindahannya pun, Arisa mencoba untuk kabur dari rumah tapi dia tidak diperhatikan. Membuatnya muak.
Padahal, saat setahun ibu meninggal, ayah tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Beliau masih pulang dengan tepat waktu dan masih sering berkumpul dengan anak-anaknya. Tapi sekarang, Arisa dan kedua adiknya jarang sekali bertemu dengan ayah, hampir tidak pernah karena jadwal mereka berselisihan.
Pada pagi harinya, ketika Arisa dan kedua adiknya bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, ayah masih tidur atau sedang sholat. Sorenya ketika semua sudah pulang, ayah tentu saja masih sibuk di kantor. Malamnya, ketika semua orang sudah tidur, sekitar tengah malam hingga pagi, ayah baru pulang dari kantor. Sabtu dan Minggu, ketika semua orang bersantai di rumah sambil berkumpul dengan keluarga, ayah pergi keluar rumah tanpa memberitahu pergi ke mana.
Arisa sampai adu mulut dengan ayah karena dia tidak setuju untuk dipindahkan ke kota kecil yang nyaris tidak ada fasilitas apa-apa. Hanya setahun lagi dan dia lulus dari bangku SMA, setelah itu kuliah dimanapun tidak jadi masalah bagi Arisa. Tapi tidak sekarang, ketika semuanya sudah dianggap sempurna tapi tiba-tiba hancur berkeping-keping. Gadis itu benar-benar marah kepada ayahnya tapi ia merasa tidak sanggup untuk membencinya karena ia merasa masih harus berbakti kepadanya.
Ia berpikir, kalau begini jadinya, lebih baik dari awal ibu dimakamkan di kota kecil yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Tidak perlu repot-repot menengok ke Jakarta. Kenapa penyesalan selalu datang di akhir?
Life goes on…
Itu kata pepatah tua dan Arisa merasa memang harus menjalani kehidupannya yang tidak sama seperti dulu. Jauh dari sahabat-sahabt karibnya, meninggalkan ibu sendirian ke suatu tempat dimana semua orang akan memandangnya dengan aneh karena perbedaan budaya yang akan membuat Arisa depresi habis-habisan karena semuanya berubah dalam waktu yang sangat cepat.
Berganti atmosfir kehidupan membuat Arisa kesulitan untuk mengenal teman-teman barunya. Pikirannya masih berada di Jakarta dan membuatnya lebih kesulitan lagi menghadapi reaksi teman-temannya yang berlebihan. Mereka menganggap Arisa orang kota sedangkan Arisa menganggap mereka orang desa. Terjadilah suatu dinding tipis di antara Arisa dan teman-temannya yang seharusnya bisa runtuh ketika pemikiran-pemikiran itu hilang.
Tapi, di sini, si sebuah toko kecil di depan pasar tradisional, dimulailah hari-hari ceria Arisa dengan teman-teman barunya dalam satu komunitas kecil.
Perkenalan mereka dimulai ketika ada sebuah acara tahunan untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Arisa dan salah seorang temannya yang berambut bob, Ina, memutuskan untuk menonton bersama karnaval yang setiap tahun diikuti oleh berbagai tingkatan SD, SMP dan SMA. Tyaz pun ikut cara karnaval ini, dimana dia berperan menjadi Angkatan Udara yang duduk manis di dalam mobil sedan abu-abu yang dihias ala kapal laut.
Ketika sedang asyik menonton acara karnaval yang diikuti oleh setidaknya ada lebih dari sepuluh sekolah dasar yang ikut, teman-teman Ina datang masih dengan mengenakan seragam sekolah—Arisa dan Ina juga sih sebenarnya. Sekitar ada delapan orang, tiga wanita dan lima laki-laki. Saat itu, Arisa masih belum mengenal mereka semua.
Pada hari berikutnya, ada karnaval lagi di jalan besar depan rumah. Kali ini para pesertanya berasal dari SMP dan SMA, jadi lebih banyak yang menonton karena lebih seru dan pastinya gadis-gadis yang tampil cantik-cantik. Nah, pertemuan yang kedua inilah yang membuat Arisa kembali tersenyum dan tertawa dengan lepasnya.
“Nanti ke District ga?”
Arisa mengangguk, baginya District sudah menjadi rumah keduanya di kota kecil ini. “Aku nganterin Itta dulu, pulang buat ganti baju terus baru main. Ga asik kalo masih pake seragam.”
“Oh oke deh. Aku juga.”
Arisa lalu menurunkan kaca helm kodoknya yang berwarna hijau lime dan segera melesat menuju jalan raya.
Itta, gadis kelas satu SMA itu adalah tetangga Arisa. Jaraknya hanya dua rumah. Dia tidak begitu disukai oleh Dias, kakak kelas yang ditaksir Itta, karena gadis itu sangat agresif. Kata orang-orang sih sejak SMP Itta menaksir Dias, tapi Dias cuek dan tidak memperdulikan serangga yang berkeliaran di hadapannya. Meskipun begitu, ternyata Dias—yang juga masih satu komunitas dengan Arisa—merasa terganggu dengan kehadiran si gadis agresif dan menjadikan Arisa sebagai objek pelampiasan kemarahan karena dia tetangga Itta.
Setelah mengantarkan Itta yang tinggi tapi kurus pulang ke rumah, Arisa pun segera pulang dan berganti baju lalu pergi ke District, sebuah toko kecil yang menjual berbagai macam hadiah dan tempat persewaan komik. Sebuah tempat yang menurut Arisa strategis untuk mengobrol bersama teman-temannya dalam satu komunitas bernama Alive.
Di sini, Arisa mempelajari banyak hal tentang kehidupan dan arti persahabatan.
“Mbak harusnya bersyukur dengan kehidupan mbak sendiri, jangankan di luar sana, aku aja sekolah dengan susah payah, mbak. Meskipun bapaknya mbak nggak sempet dateng atau kasih kabar, mbak masih dikirim uang buat biaya yang mbak perlukan. Sedangkan aku? Bapak sih ada, tapi ekonominya sangat kurang. Aku bahkan nggak tinggal di rumahku sendiri, aku numpang di rumah orang.”
Ucapan Dias yang seperti itu membuat Arisa membuka matanya lebar-lebar. Yang tidak beruntung bukannya dia saja, tapi ada banyak orang yang nasibya lebih tidak beruntung dibandingkan dengannya. Berbagai macam permasalahan ada di dunia ini tapi bagaimana cara kita menanggapinya, setiap orang pasti akan berbeda-beda. Arisa sedikit malu melihat kenyataannya, dia merasa bersalah memandang dirinya adalah seorang gadis yang sangat tidak beruntung, padahal banyak orang yang senasib dengannya atau malah dibawah darinya.
Kadang, Arisa dikirimi pesan dari Ika yang membuat Arisa berpikir dua kali sebelum menjawabnya. Seperti pagi itu, ketika Arisa sedang menyampuli komik-komiknya yang banyak, handphonenya bergetar, sebuah pesan dari Ika, seniornya di Alive—yang menurut Arisa—paling dewasa di antara anak-anak yang lainnya.
Menurut kamu, sahabat itu apa? Sejak kapan kita bersahabat? Kalau misalnya kita tidak bertemu, apa yang akan terjadi dengan kita?
Arisa bingung ditanya seperti itu. Pikirannya masih sesimpel anak remaja lainnya dan itu mempengaruhi jawaban yang akan ia kirim balik ke Ika. Entahlah jika jawaban itu tidak sesuai dengan maksud Ika sendiri.
Kita bersahabat ketika kita bertemu untuk yang pertama kalinya, jika kita tidak bertemu kita pasti tidak menjadi sahabat seperti sekarang ini.
Ika tidak berkomentar tentang jawaban Arisa, ia bilang pertanyaan itu hanya dijadikan referensi saja untuknya, tidak ada jawaban yang benar ataupun jawaban yang salah. Lalu ketika Arisa bertanya apa jawaban yang menurut Ika paling baik, Ika menjawab, “Aku paling suka jawaban dari Shinchan. Dia bilang begini, ‘Aku tidak peduli dengan orang yang menertawakan aku, tapi sahabat adalah orang yang bisa kuajak tertawa bersama.’”
Untuk kedua kalinya, Arisa berpikir dan membuka matanya. Dunia tidak sesempit yang ia bayangkan, tidak hanya selebar dedaunan tapi sangat besar hingga kita pun tidak bisa menggenggamnya. Arisa masih harus membuka mata dan telinganya. Melihat bagaimana dunia ini berputar. Mendengar bagaimana teriakan hiruk-pikuk manusia-manusianya. Ia memang tidak bisa melawan takdir tetapi ia bisa mengubah nasibnya.
Arisa sudah muak dengan kelakuan orang-orang di rumah. Ia mengerti kalau ia harus bersabar, ia mengerti ia harus menanggung semua beban itu, ia mengerti kalau ia sudah ditinggalkan, dibuang. Bukannya ia tidak suka terhadap neneknya yang selalu menyalahkan ayahnya, itu memang benar, tapi ia ingin neneknya tidak perlu terlalu memikirkan ayahnya yang sudah mulai menyimpang hingga menjadi pikiran dan beban bagi seorang wanita tua renta ini.
Sudah cukup baginya agar kakek dan neneknya memperhatikannya, membuatnya merasa sebagai anak remaja seperti umumnya, menghilangkan beban yang berada di pundak kecil Arisa, tidak perlulah mengurusi urusan ayahnya yang berada di Jakarta, semua sudah punya tugas dan urusannya sendiri-sendiri. Kadang, Arisa bingung menghadapi semua orang di hadapannya. Di sisi lain, semua ucapan orang lain itu benar, tapi di sudut pandang yang lain, semua ucapan orang lain itu salah.
Arisa tidak ingin memihak yang mana. Ia ingin tetap dekat dengan ayah meskipun beliau tidak akan pernah memperdulikan seekor kecoak yang hinggap di kakinya, tapi di sisi lain ia ingin membenci ayahnya yang membuangnya, tidak memperdulikannya, yang memperlakukannya seperti sampah yang tidak berguna.
Arisa mengerti perasaan ayahnya yang ingin memiliki kehidupan baru setelah ditinggalkan istrinya, tapi ia tidak mau tahu perasaan yang dimiliki ayahnya ketika menyuruhnya pergi dari Jakarta. Sakit rasanya ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka cintai, meskipun itu hanya untuk sementara. Teman-teman ayah menyalahkan ayah atas kelakuan beliau yang tidak mau mengurusi Arisa, tapi di mata Arisa sendiri, ayah sudah bertanggung-jawab dengan menyerahkan dia dan kedua adiknya kepada kakek-nenek dari pihak ibu yang lebih bisa dipercaya untuk mengurusnya.
Izhar, sebagai adik lelaki Arisa yang tidak jauh beda umurnya tidak menunjukkan apa pun terhadap masalah ini. Ia tidak pernah bercerita dan terlihat fine-fine saja dengan kehidupannya yang baru, berbeda dengan Arisa yang pikirannya masih terikat dengan Jakarta. Tapi Arisa begitu terenyuh ketika diam-diam melihat isi pesan yang adiknya simpan di draft. Dia bilang dia rindu kepada ayah, dia rindu keadaan dulu ketika mereka semua masih bisa berjalan-jalan bersama, rindu semua yang telah mereka lalui bersama-sama…
Arisa menghela nafasnya dengan perlahan. Ia tidak menyangka semua ini begitu berat untuk dilalui. Ia ingin menjadi Tyaz yang dimanjakan oleh semua orang. Ia memang masih kecil sehingga belum mengerti ketika ibu pergi. Ia bisa tertawa tanpa ada beban, bermain tanpa memperdulikan sekelilingnya, berinteraksi dengan orang lain tanpa mengalami kesulitan. Arisa iri akan hal itu. Inginnya dia menjadi anak kecil kembali dan menjalani semua ini dengan tawa lebar di wajahnya, tanpa harus bersusah payah membohongi hatinya.
Now I see, if I wear a mask, I can fool the world but I can not fool my heart…
Lagu Reflection yang dinyanyikan oleh Christina Aguilera sungguh menusuk hati Arisa. Liriknya yang simpel dan mudah dimengerti itulah yang membuat Arisa sangat menyukai lagu ini, itu pun juga karena liriknya mirip dengan keadaannya saat ini. Berusaha membohongi dunia dengan senyuman tetapi ia tidak dapat membohongi hatinya yang sakit.
Sometimes I wish I could save you. And there’s so many things that I want you to know… I won’t give up till it’s over. If it takes you forever, I want you to know…
Kadang aku berharap aku dapat menyelamatkanmu. Dan banyak yang aku ingin kamu tahu… I tidak ingin menyerah hingga berakhir. Jika itu mengambilmu untuk selamanya, aku ingin kamu tahu… Arisa ingin meneriakkan itu ke seluruh manusia yang ada di dunia ini, biar mereka tahu bahwa rasanya sangat sengsara jika ditinggalkan seorang ibu. Arisa ingin berteriak bahwa mereka semua harus menghormati, menyayangi dan berbakti kepada ibu mereka karena merekalah yang telah melahirkan, memberikan banyak kasih sayang dan bagi sebagian orang, ibu merekalah yang mencari nafkah.
Arisa ingin menangis, tapi ia tidak tahu apa yang harus ditangisi. Ia tidak punya lagi persediaan air mata untuk membuat matanya berkaca-kaca. Semua itu sudah ia habiskan ketika ibu meninggal dengan tenang di rumah sakit. Di pemakaman juga tidak ada setitik pun air yang jatuh bergulir dari matanya. Sungguh suatu trauma melihat ibu sendiri meninggal dengan tenang di hadapannya. Arisa bersyukur bisa terus berada di samping ibunya hingga detik-detik terakhir tapi sungguh menyesal karena detik terakhir itulah awal dari permulaan hidupnya yang baru.
Yang ada dipikiran Arisa saat ini adalah bagaimana ia menghilangkan rasa ketakutannya terhadap kematian, memang sudah sewajarnya jika setiap manusia takut untuk mati, takut untuk menghadap Tuhannya di sana, soal masuk surga atau neraka itu urusan belakang. Sudah beberapa kali terlintas pemikiran-pemikiran untuk bunuh diri mengakhiri sebuah kehidupan tapi Arisa terlalu takut untuk melakukannya. Hanya sebatas pemikiran saja dan tidak akan pernah terjadi di kehidupan nyata, entahlah jika dia benar-benar depresi dan stress yang berlebih.
Arisa ingin kematian yang damai.
Ia enggan hidup di dunia yang penuh dengan kebusukan ini. Semua orang berwajah manis di hadapannya tetapi itu semua bullshit, omong-kosong, di dalam hati mereka berpikiran negative thinking tentangnya. Arisa memang tidak dilahirkan dengan kemampuan supernatural untuk membaca pikiran seseorang, tetapi seseorang itu bisa dilihat dari raut wajahnya, gerak tubuh dan dari mata mereka.
Arisa seringkali berpikir, bagaimana kalau misalnya dia mendapatkan sebuah kecelakaan yang lumayan parah yang mengharuskannya untuk tetap tinggal di rumah sakit selama beberapa bulan, apakah ayah akan menjenguknya seperti beliau menemani ibu sampai saat-saat terakhir kematiannya? Ataukah beliau tidak memperdulikannya bagai lalat busuk di tempat sampah?
Ya, semenjak ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita muda bernama Shabrina, beliau tidak pernah lagi menghubungi Arisa dan kedua adiknya sama sekali. Bahkan sejak awal Arisa pindah, tidak pernah sekalipun ayah menelepon atau mengirimkan pesan sekadar untuk berbasa-basi. Arisa ingin membangun hubungan baik lagi dengan ayahnya tetapi permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh beliau.
Sewaktu pergi bermain ke Jakarta beberapa waktu yang lalu, Arisa sempat menelepon ayahnya dan diangkat. Itu karena Arisa meminjam telepon rumah temannya untuk mencoba menelepon ayah sehingga ayah tidak tahu nomor siapa yang meneleponnya karena setiap kali Arisa telepon menggunakann handphone atau telepon rumahnya, pasti tidak pernah diangkat.
Apa yang tidak bisa dimengerti Arisa, padahal jika ayahnya memberikan sebuah alasan yang jelas pastinya Arisa akan mengerti, mau tidak mau. Di tengah keputus-asaannya itu, Arisa seringkali bercerita panjang lebar kepada Adi, sahabatnya yang memiliki nasib hampir serupa dengannya, melalui sms. Bedanya, ibu baru itu dapat menerima Adi sehingga sekarang mereka bisa tinggal bersama-sama. Sedangkan ibu baru Arisa tidak suka dan tidak mau menerima anak-anak dari ayah sehingga mereka semua berpisah. Ayah dengan keluarga barunya dan Arisa dengan kedua adiknya yang nakal-nakal.
Adi adalah seorang muslim tetapi dia sangat tertarik dengan semua yang berbau gaib, misterius dan aneh, seperti satanisme, alien, segitiga bermuda dan yang lainnya. Dia jago berbicara dan semua pemikirannya dapat diterima oleh logika manusia. Pikirannya jauh lebih dewasa dibandingkan dengan Arisa tetapi di hadapan teman-temannya yang lain dia tetap bersikap layaknya remaja biasa. Teman curhat Arisa di kala gadis itu dilema kehidupannya.
Di, kenapa ya bokap gue ga pernah sms atau nanyain kabar gitu? Apakah dia udah lupa sama gue dan adik-adik gue? Dia bilang juga dia ga bakal pulang lebaran ini :-(
Kebiasaan Adi yang paling Arisa benci adalah dia lama membalas smsnya. Entahlah dia sedang berpikir atau dia lupa membalas, yang jelas kalau balas sms pasti ada tenggang waktu selama lima belas menit.
Dia ga bkal lupa sma elo, Sa. Ya mngkn dia mrasa malu dn berslh. Klau misalny gue jd bkp lo, gue jg akn berpkir sprti itu. Dia udh bkin kluargany hancur brantakn dn dia ingin mnebus ksalahan2 itu. Mngkn dia ingin suatu hr nnti dia dtg dgn kehdpan yg lbih mapan, istri yg baik dn smua yg elo inginkn. Tp dia tau itu bkn skr, ad tahapan2 tertentu yg hrs dilalui dia. Yg perlu elo lakukn skr adlh bersbr. Udhlh, skr lo ga perlu mikirin bokap lo dlu. Ga ush mikirin yg aneh2, lo urus diri lo sndiri. Skolah yg bner biar bs ditrima di univ yg elo inginkn. Tunggu aja, lgpula dia msh mmberikn harapan tuk bs brkumpul kembali kn meskipun itu ga skr?
Arisa membaca pesan itu dengan seksama. Mungkin yang dikatakan Adi benar, mungkin itu yang berada di otak ayah. Dari pertama kali bertemu Adi, entah kenapa pembawaannya yang dewasa dan bijaksana itu membuat Arisa terkagum-kagum. Arisa tak habis berpikir, bagaimana anak lelaki yang sebaya dengannya itu bisa melihat setiap masalah dari sudut pandang orang lain, tidak hanya dari satu sudut pandang saja yang egois?
Arisa membalas sms Adi dengan cepat.
I’ll try to don’t care.
Dengan sabarnya, Adi membalas:
Do or not do it, there’s no try, okay? Listen, I’m kinda busy now. All I want to say is I do care about you. So, I reply your message. Hope you doing well there :-*
Lebaran ini ayah benar-benar tidak datang. Padahal, Arisa masih menyimpan sepersen harapan untuk ayahnya. Mungkin saja ketika semua orang berpikir ayah tidak datang, tiba-tiba sebuah mobil Mercy hitam berhenti di depan rumah dan keluarlah ayah beserta istri barunya. Atau, ketika besok diadakan acara pertemuan keluarga besar, ayah muncul sebagai perwakilan dari ibu. Ah… Imajinasi memang indah.
Sayangnya tidak akan mungkin menjadi kenyataan.
Arisa bukan tipe orang yang suka berada di tempat ramai, tapi dia juga bukan sesosok penyendiri. Kata teman-temannya, Arisa itu adalah anak yang moodyan. Kalau dia sedang asyik diajak bercanda, dia akan jadi anak yang super ramai tanpa perlu menjaga image segala. Tapi jika moodnya sedang tidak bagus, dia akan menyendiri, diam di sepinya. Untunglah akhir-akhir ini dia menjadi anak yang ceria karena sejak pertama kali datang di kota kecil ini, mood Arisa tidak pernah bagus.
Suasana di sekeliling tiba-tiba menjadi gelap. Seperti berada di dalam sebuah kotak tanpa penerangan. Arisa berdiri sendiri. Ia tidak merasakan apa-apa. Tidak takut, senang, marah atau pun sedih. Emosinya seperti meredup, hilang di telan bumi. Hening tanpa ada suara. Lalu, muncullah satu per satu orang-orang yang Arisa kenal. Ayah, Izhar, Tyaz, kakek, nenek, om, tante, sahabat, teman dan semua orang yang pernah bertemu Arisa. Mereka berjalan mendekati Arisa tapi tanpa diperintah oleh otaknya, Arisa malah menjauh.
Mereka berjalan semakin cepat mengejar Arisa yang semakin menjauh. Tangan mereka berusaha menggapai Arisa tapi dengan ketakutan yang amat mencekam, Arisa berusaha berlari dengan cepat. Ia lari dengan sangat cepat, tapi bagai film yang diperlambat semua orang bisa menarik-narik bajunya. Arisa berusaha lepas dari cengkeraman orang-orang tapi tidak bisa. Tubuhnya semakin ditarik ke arah kerumunan orang-orang itu dan tenggelam…
Matanya membelalak kaget sekaligus ketakutan. Terlihat nenek yang duduk disampingnya memanggil-manggil namanya. Dokter dan para perawat pun segera masuk ke dalam ruangannya, mencoba mengembalikan detak jantungnya yang tidak stabil. Layar di monitor tetap menunjukkan sebuah garis lurus.
Semua orang bersedih. Kakek dan nenek menangis terisak-isak, om dan tante juga begitu. Izhar diam saja, entahlah apa yang sedang dipikirkannya. Seharusnya Izhar senang kakaknya tidak ada, tidak akan ada yang pernah memarahinya, mengejeknya dan menganggunya lagi. Tapi kenapa dia malah menangis? Seharusnya dia tertawa gembira mengetahui kenyataan bahwa tidak akan lagi yang akan berebut bermain playstation atau menggeplak kepalanya atau berteriak-teriak kesal padanya. Tyaz terdiam, dia bingung kenapa semua orang bersedih.
Dokter masih mencoba dengan alat-alatnya. Mencoba membuat dia kembali bangun lagi. Kembali hidup lagi. Tapi apa daya, Dia mengambil apa yang menjadi milikNya. Dengan pasrah, dokter menutup kedua matanya.
Itu tubuh yang tidak berdaya. Seonggok daging tanpa roh. Aku hanya bisa melihat dari atas sini dengan diam. Aku tidak dapat melakukan apapun lagi. Aku ingin menghapus air mata itu tapi aku tidak bisa. Aku sudah tidak memiliki tubuh. Maafkan aku, aku juga tidak menyangka akan begini jadinya. Aku meninggal di usia semuda ini, maafkan aku teman-teman… Aku tidak akan pernah bisa menepati janjiku untuk mentraktir kalian makan-makan di ulang tahunku yang ke tujuh belas.
Sekarang aku akan pergi, meskipun kalian kehilangan diriku tapi jangan terlalu berlarut-larut dan jangan rindu padaku. Aku akan sangat sedih di sini karena telah meninggalkan kalian, orang-orang yang sangat aku cintai. Mungkin, kita akan bertemu di kehidupan yang akan datang. Mungkin aku akan bereinkarnasi atau malah masuk neraka. Mungkin aku akan menjadi hantu atau masuk ke dalam surga.
Selamat tinggal orang-orang yang aku sayangi. Awal dari akhir ini adalah mulainya kehidupan baru. Di hari ulang tahunku yang ke tujuh belas ini, ku lihat dari atas sini, ada bayi yang baru lahir bertepatan dengan kematianku. Aku tersenyum melihat bayi mungil itu dan lucunya, kedua orang-tua bayi itu menamainya Zarista.
Cukup mirip dengan namaku bukan?